Dengan penuh khidmat, I Made Kajeng Waras Himawan Suweca memanjatkan doa kepada para dewata, memohon berkah agar kegiatan digitalisasi naskah lontar yang disimpan di dalam Bale Daja miliknya dapat terlaksana tanpa aral rintangan. Kami semua diperciki tirta suci sebagai tanda harapan bahwa kegiatan ini mendapatkan berkah Hyang Widhi. Perlahan, ketika kropak kayu yang berisi sekitar lima puluh cakepan lontar dibuka, wangi naskah yang khas menyeruak, dan lempir-lempir daun mulai menampakkan aksara Bali yang artistik.
Sesaat setelah naskah-naskah dikeluarkan dari petinya, tim Digitalisasi Dreamsea, tidak dapat langsung mengambil foto naskah-naskah tersebut. Meski pada umumnya naskah dalam kondisi yang terawat, tetapi debu-debu menghalangi aksara-aksara yang mengandung pengetahuan orang Bali di masa lalu. Kami memutuskan untuk membersihkan terlebih dahulu debu-debu tebal yang menyelimuti cakepan dan lempiran, lalu menghitamkan kembali helai demi helai daun. Beruntung, upaya Tim Digitalisasi Dreamsea dalam membersihkan lontar ini dibantu oleh para penyuluh bahasa Bali, para ujung tombak bahasa, sastra dan budaya Bali. I Gede Gita Purnama dari Universitas Udayana, yang bertindak sebagai academic expert, segera mencarikan minyak sirih, sementara Carma Citrawati (Universitas Dwijendra), sudah sejak sehari sebelumnya membakar kemiri. Dengan telaten Mba Dayudan I Made Anom mengulasi daun-daun itu sehingga aksara-aksara mulai mencolok, hitam, kontras dengan warna daun yang cerah.
Ida Bagus AriWijaya dari Aliansi Peduli Bahasa Bali, sangat antusias membaca helai demi helai sambil terus melumuri naskah. Ia tampak senang ketika mendapati sebuah naskah yang disalin pada tahun 1778, naskah yang diketahui tertua dalam koleksi I Made Kajeng, yang berisi teks Kakawin Arjunawiwaha. Dibantu oleh Aditia Gunawan (Manassa) yang bertindak sebagai Ketua Tim, mereka memasukkan data-data naskah ke dalam komputer, menentukan judul dan isi naskah-naskah tersebut. Setelah lontar-lontar tersebut bersih dan terbaca, helai demi helai kemudian difoto oleh Ilham Nurwansyah, fotografer dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dengan dibantu oleh Surya dari Universitas Andalas.
Misi ini adalah misi pertama di tahun kedua pelaksanaan program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in South-East Asia (DREAMSEA) yang disponsori oleh Arcadia, PPIM UIN Jakarta, dan Center Study of Manuscript Culture (Universitas Hamburg) dengan dukungan dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas). Sekitar 50-an naskah lontar berbahasa Bali, Jawa Kuno, dan Sanskerta didigitalkan. Dalam pandangan I Made Kajeng, sang pelestari naskah selama berpuluh tahun ini, naskah-naskah lontar Bali tentu mengandung pengetahuan para leluhur. Ia ingin agar naskah-naskah tersebut dapat diketahui isinya karena mengandung ilmu yang bermanfaat di masa sekarang. “Bagi saya yang terpenting isi naskah ini dapat diungkap”, pesannya tentang harapan dari program digitalisasi ini.
Memang benar, banyak naskah-naskah ini yang isinya menarik dan penting, di antaranya pipil tanah (surat tanah) yang disinyalir milik Kerajaan Pemecutan, karena pada pipil tanah tersebut terdapat stempel kerajaan. Terdapat pula undang-undang Panegara Badoeng (Kerajaan Badung), yang menjadi cikal bakal lahirnya Kota Denpasar saat ini, di samping teks-teks kakawin, tutur, tattwa, mantra, wariga, usadha, geguritan dan naskah-naskah rerajahan yang mengandung banyak gambar dan simbol.
Aditia
Sesaat setelah naskah-naskah dikeluarkan dari petinya, tim Digitalisasi Dreamsea, tidak dapat langsung mengambil foto naskah-naskah tersebut. Meski pada umumnya naskah dalam kondisi yang terawat, tetapi debu-debu menghalangi aksara-aksara yang mengandung pengetahuan orang Bali di masa lalu. Kami memutuskan untuk membersihkan terlebih dahulu debu-debu tebal yang menyelimuti cakepan dan lempiran, lalu menghitamkan kembali helai demi helai daun. Beruntung, upaya Tim Digitalisasi Dreamsea dalam membersihkan lontar ini dibantu oleh para penyuluh bahasa Bali, para ujung tombak bahasa, sastra dan budaya Bali. I Gede Gita Purnama dari Universitas Udayana, yang bertindak sebagai academic expert, segera mencarikan minyak sirih, sementara Carma Citrawati (Universitas Dwijendra), sudah sejak sehari sebelumnya membakar kemiri. Dengan telaten Mba Dayudan I Made Anom mengulasi daun-daun itu sehingga aksara-aksara mulai mencolok, hitam, kontras dengan warna daun yang cerah.
Ida Bagus AriWijaya dari Aliansi Peduli Bahasa Bali, sangat antusias membaca helai demi helai sambil terus melumuri naskah. Ia tampak senang ketika mendapati sebuah naskah yang disalin pada tahun 1778, naskah yang diketahui tertua dalam koleksi I Made Kajeng, yang berisi teks Kakawin Arjunawiwaha. Dibantu oleh Aditia Gunawan (Manassa) yang bertindak sebagai Ketua Tim, mereka memasukkan data-data naskah ke dalam komputer, menentukan judul dan isi naskah-naskah tersebut. Setelah lontar-lontar tersebut bersih dan terbaca, helai demi helai kemudian difoto oleh Ilham Nurwansyah, fotografer dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dengan dibantu oleh Surya dari Universitas Andalas.
Misi ini adalah misi pertama di tahun kedua pelaksanaan program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in South-East Asia (DREAMSEA) yang disponsori oleh Arcadia, PPIM UIN Jakarta, dan Center Study of Manuscript Culture (Universitas Hamburg) dengan dukungan dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas). Sekitar 50-an naskah lontar berbahasa Bali, Jawa Kuno, dan Sanskerta didigitalkan. Dalam pandangan I Made Kajeng, sang pelestari naskah selama berpuluh tahun ini, naskah-naskah lontar Bali tentu mengandung pengetahuan para leluhur. Ia ingin agar naskah-naskah tersebut dapat diketahui isinya karena mengandung ilmu yang bermanfaat di masa sekarang. “Bagi saya yang terpenting isi naskah ini dapat diungkap”, pesannya tentang harapan dari program digitalisasi ini.
Memang benar, banyak naskah-naskah ini yang isinya menarik dan penting, di antaranya pipil tanah (surat tanah) yang disinyalir milik Kerajaan Pemecutan, karena pada pipil tanah tersebut terdapat stempel kerajaan. Terdapat pula undang-undang Panegara Badoeng (Kerajaan Badung), yang menjadi cikal bakal lahirnya Kota Denpasar saat ini, di samping teks-teks kakawin, tutur, tattwa, mantra, wariga, usadha, geguritan dan naskah-naskah rerajahan yang mengandung banyak gambar dan simbol.
Aditia