Bharatayuddha bukan sekadar perang antara Pandhawa dan Korawa. Bharatayuddha adalah sebuah ikhtiar mempertahankan harga diri, kekuasaan, dan penegakan dharma ksatriya serta keadilan bagi Pandhawa dan Korawa.
Demikian disampaikan Yosephin Apriastuti Rahayu, M.A. dalam diskusi Jagongan Naskah (Jangkah) Edisi 3 pada Sabtu, (22/12/2018) di Gedhong Danawara Pakualaman.
Dalam kesempatan tersebut, Dosen Bahasa dan Sastra Jawa Kuna UGM ini mengungkap diplomasi ajakan damai menjelang Perang Baharatayuddha dalam naskah Udyogaparwa Jawa Kuna yang ditulis abad ke-10 M.
“Ada proses perundingan dari kedua pihak sebelum perang di palagan Kuruksetra. Mereka saling mengirimkan duta untuk berunding, dan melakukan persiapan menjelang perang; mencari sekutu sebanyak-banyaknya,” papar kandidat Doktor Universitas Leiden ini.
Simbok, sapaan akrabnya, melanjutkan bahwa perundingan yang terjadi pada prinsipnya merupakan usaha untuk mencari jalan damai. Pandhawa ingin meminta kembali sebagian kerajaan yang menjadi hak mereka. Sementara Korawa menolak permintaan itu.
Ada gejolak saat para duta menyampaikan misi dalam perundingan. Pro dan kontra yang terjadi di dalamnya menunjukkan sejauh mana dukungan para tokoh terhadap kedua pihak yang bertikai.
“Udyogaparwa menjelaskan peran empat tokoh duta yang diutus berunding, yakni Brahmana Purohita dan Krsna di pihak Pandhawa. Sementara Sanjaya dan Uluka berada di pihak Korawa. Gejolak yang dimaksud yaitu hasrat kuasa dari Korawa yang menolak ajakan damai dari Pandhawa,” ungkapnya.
Udyogaparwa, papar Simbok, menjelaskan peran empat tokoh duta yang diutus berunding, yakni Brahmana Purohita dan Krsna di pihak Pandhawa. Sementara Sanjaya dan Uluka berada di pihak Korawa. Gejolak yang dimaksud yaitu hasrat kuasa dari Korawa yang menolak ajakan damai dari Pandhawa.
Peran dan fungsi mereka berhubungan dengan empat tahap diplomasi dalam politik tradisional, meliputi sama (mencapai kata sepakat), dana (menyuap), bheda (menaburkan perpecahan), serta danda (kekerasan).
“Lantaran tiga tahap diplomasi yakni sama, dana, dan bheda yang dilakukan Krsna kepada Korawa mengalami jalan buntu, satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali hak pandawa hanyalah melalui jalan perang, atau danda,” jelas Simbok.
Sementara itu, founder Komunitas Jagongan Naskah Taufiq Hakim menambahkan, dengan membaca kembali Udyogaparwa, para kawula muda yang menghadiri diskusi maupun masyarakat pada umumnya dapat belajar tentang model diplomasi dan negosiasi yang baik.
Ada tahapan-tahapan dan pertimbangan kesejahteraan dan perdamaian yang diajarkan dalam naskah kuna seperti Udyogaparwa Jawa Kuna. Kendati berakhir dengan perang, hikmah yang dapat dipetik adalah Pandhawa sesungguhnya menginginkan jalan damai, demi kesejahteraan dunia.
Hal ini, kata Taufiq, penting di tengah kontestasi wacana di era digital yang dinilai sudah terlalu liar tanpa proses verifikasi yang akurat. Acap kali arus informasi yang deras itu membuat publik tanpa pikir panjang langsung meresponnya.
“Akibatnya mudah marah, kemrungsung, grasa-grusu, tanpa pertemuan, tanpa perundingan, tanpa negosiasi dan saling mengerti satu sama lain,” jelasnya.
Acara bulanan ini merupakan kerja sama Komunitas Jagongan Naskah dengan Pawiyatan Macapat Kadipaten Pakulaman. Turut hadir dalam acara Penghageng Urusan Macapat Kadipaten Pakualaman M. Ng. Citropanambang, Ketua Program Studi Sastra Jawa UGM Dr. Sri Ratna Saktimulya, M. Hum., dan para peserta yang terdiri dari mahasiswa di DIY, Semarang, Solo, dan masyarakat sekitar.
Demikian disampaikan Yosephin Apriastuti Rahayu, M.A. dalam diskusi Jagongan Naskah (Jangkah) Edisi 3 pada Sabtu, (22/12/2018) di Gedhong Danawara Pakualaman.
Dalam kesempatan tersebut, Dosen Bahasa dan Sastra Jawa Kuna UGM ini mengungkap diplomasi ajakan damai menjelang Perang Baharatayuddha dalam naskah Udyogaparwa Jawa Kuna yang ditulis abad ke-10 M.
“Ada proses perundingan dari kedua pihak sebelum perang di palagan Kuruksetra. Mereka saling mengirimkan duta untuk berunding, dan melakukan persiapan menjelang perang; mencari sekutu sebanyak-banyaknya,” papar kandidat Doktor Universitas Leiden ini.
Simbok, sapaan akrabnya, melanjutkan bahwa perundingan yang terjadi pada prinsipnya merupakan usaha untuk mencari jalan damai. Pandhawa ingin meminta kembali sebagian kerajaan yang menjadi hak mereka. Sementara Korawa menolak permintaan itu.
Ada gejolak saat para duta menyampaikan misi dalam perundingan. Pro dan kontra yang terjadi di dalamnya menunjukkan sejauh mana dukungan para tokoh terhadap kedua pihak yang bertikai.
“Udyogaparwa menjelaskan peran empat tokoh duta yang diutus berunding, yakni Brahmana Purohita dan Krsna di pihak Pandhawa. Sementara Sanjaya dan Uluka berada di pihak Korawa. Gejolak yang dimaksud yaitu hasrat kuasa dari Korawa yang menolak ajakan damai dari Pandhawa,” ungkapnya.
Udyogaparwa, papar Simbok, menjelaskan peran empat tokoh duta yang diutus berunding, yakni Brahmana Purohita dan Krsna di pihak Pandhawa. Sementara Sanjaya dan Uluka berada di pihak Korawa. Gejolak yang dimaksud yaitu hasrat kuasa dari Korawa yang menolak ajakan damai dari Pandhawa.
Peran dan fungsi mereka berhubungan dengan empat tahap diplomasi dalam politik tradisional, meliputi sama (mencapai kata sepakat), dana (menyuap), bheda (menaburkan perpecahan), serta danda (kekerasan).
“Lantaran tiga tahap diplomasi yakni sama, dana, dan bheda yang dilakukan Krsna kepada Korawa mengalami jalan buntu, satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali hak pandawa hanyalah melalui jalan perang, atau danda,” jelas Simbok.
Sementara itu, founder Komunitas Jagongan Naskah Taufiq Hakim menambahkan, dengan membaca kembali Udyogaparwa, para kawula muda yang menghadiri diskusi maupun masyarakat pada umumnya dapat belajar tentang model diplomasi dan negosiasi yang baik.
Ada tahapan-tahapan dan pertimbangan kesejahteraan dan perdamaian yang diajarkan dalam naskah kuna seperti Udyogaparwa Jawa Kuna. Kendati berakhir dengan perang, hikmah yang dapat dipetik adalah Pandhawa sesungguhnya menginginkan jalan damai, demi kesejahteraan dunia.
Hal ini, kata Taufiq, penting di tengah kontestasi wacana di era digital yang dinilai sudah terlalu liar tanpa proses verifikasi yang akurat. Acap kali arus informasi yang deras itu membuat publik tanpa pikir panjang langsung meresponnya.
“Akibatnya mudah marah, kemrungsung, grasa-grusu, tanpa pertemuan, tanpa perundingan, tanpa negosiasi dan saling mengerti satu sama lain,” jelasnya.
Acara bulanan ini merupakan kerja sama Komunitas Jagongan Naskah dengan Pawiyatan Macapat Kadipaten Pakulaman. Turut hadir dalam acara Penghageng Urusan Macapat Kadipaten Pakualaman M. Ng. Citropanambang, Ketua Program Studi Sastra Jawa UGM Dr. Sri Ratna Saktimulya, M. Hum., dan para peserta yang terdiri dari mahasiswa di DIY, Semarang, Solo, dan masyarakat sekitar.