“Hanya orang yang telah sanggoep meninjau ke belakang dengan hitoengan abad, dengan lain kata, yang memang berpengertian tentang sedjarah dan masjarakat, akan dapat berhadapan dengan soeasana sedjarah jang beroepa revoloesi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan toedjoean sedjarah.”
Pidato Bung Sjahrir di DK PBB 14 Agustus 1947 tersebut dikutip oleh Prof. Dr. Peter Carey untuk menekankan betapa pentingnya sejarah bagi masa depan suatu bangsa. Prof. Dr. Peter Carey hadir sebagai narasumber dalam diskusi buku bertajuk “Hikayat, Babad, dan Syair bagi Sejarah Purworejo dan Madiun Abad ke-19”. Acara ini terselenggara berkat kerja sama antara MANASSA Cabang Yogyakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, dan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Diskusi digelar pada Kamis, 1 Maret 2018 mulai pukul 10.00 hingga 12.30 WIB dengan moderator Dr. Sudibyo, M.Hum. Sekitar 300 peserta menyesaki auditorium Gedung R. Soegondo FIB UGM untuk mengikuti diskusi tersebut.
Menurut Prof. Dr. Peter Carey historiografi merupakan sebuah tantangan bagi sejarawan karena sejarah selalu berkaitan dengan kekuasaan dan di situlah objektivitas dan integritas seorang sejarawan dipertaruhkan. Seperti Pangeran Diponegoro dalam bukunya ‘Sisi Lain Diponegoro’ berdasarkan Babad Kedung Kebo yang bertolak belakang dengan citra Pangeran Diponegoro dalam sejarah nasional.
Prof. Dr. Peter Carey juga mengungkapkan bahwa penulisan sejarah dapat digali melalui artefak, arsip, dan naskah-naskah kuno. Sayangnya arsip di Indonesia masih dianggap sebagai suatu ‘harta karun’ sebagaimana naskah yang dianggap sebagai benda pusaka yang dikeramatkan sehingga justru tidak dapat terekspos isinya dan rentan kerusakan. Untuk menyelamatkan warisan yang dapat menjadi sumber penulisan sejarah itu dibutuhkan upaya-upaya seperti digitalisasi naskah, inventarisasi naskah dan benda bersejarah yang dimiliki oleh masyarakat atau ahli waris, dan mengumpulkan semua warisan tersebut di Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional.
Prof. Dr. Peter Carey menggarisbawahi untuk dapat membangun suatu visi untuk masa depan bangsa di atas sendi-sendi sejarah yang nyata sejarawan harus mengembangkan masyarakat yang menghargai sejarawan dan tugasnya sebagai “public intellectuals”, membebaskan diri dari tekanan politik dan isu SARA, dan menghubungkan Indonesia dengan dunia luar melalui pengujian riset di hadapan kolega di luar negeri.
Pidato Bung Sjahrir di DK PBB 14 Agustus 1947 tersebut dikutip oleh Prof. Dr. Peter Carey untuk menekankan betapa pentingnya sejarah bagi masa depan suatu bangsa. Prof. Dr. Peter Carey hadir sebagai narasumber dalam diskusi buku bertajuk “Hikayat, Babad, dan Syair bagi Sejarah Purworejo dan Madiun Abad ke-19”. Acara ini terselenggara berkat kerja sama antara MANASSA Cabang Yogyakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, dan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Diskusi digelar pada Kamis, 1 Maret 2018 mulai pukul 10.00 hingga 12.30 WIB dengan moderator Dr. Sudibyo, M.Hum. Sekitar 300 peserta menyesaki auditorium Gedung R. Soegondo FIB UGM untuk mengikuti diskusi tersebut.
Menurut Prof. Dr. Peter Carey historiografi merupakan sebuah tantangan bagi sejarawan karena sejarah selalu berkaitan dengan kekuasaan dan di situlah objektivitas dan integritas seorang sejarawan dipertaruhkan. Seperti Pangeran Diponegoro dalam bukunya ‘Sisi Lain Diponegoro’ berdasarkan Babad Kedung Kebo yang bertolak belakang dengan citra Pangeran Diponegoro dalam sejarah nasional.
Prof. Dr. Peter Carey juga mengungkapkan bahwa penulisan sejarah dapat digali melalui artefak, arsip, dan naskah-naskah kuno. Sayangnya arsip di Indonesia masih dianggap sebagai suatu ‘harta karun’ sebagaimana naskah yang dianggap sebagai benda pusaka yang dikeramatkan sehingga justru tidak dapat terekspos isinya dan rentan kerusakan. Untuk menyelamatkan warisan yang dapat menjadi sumber penulisan sejarah itu dibutuhkan upaya-upaya seperti digitalisasi naskah, inventarisasi naskah dan benda bersejarah yang dimiliki oleh masyarakat atau ahli waris, dan mengumpulkan semua warisan tersebut di Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional.
Prof. Dr. Peter Carey menggarisbawahi untuk dapat membangun suatu visi untuk masa depan bangsa di atas sendi-sendi sejarah yang nyata sejarawan harus mengembangkan masyarakat yang menghargai sejarawan dan tugasnya sebagai “public intellectuals”, membebaskan diri dari tekanan politik dan isu SARA, dan menghubungkan Indonesia dengan dunia luar melalui pengujian riset di hadapan kolega di luar negeri.