Proses pengislaman di Sulawesi Selatan yang bermula pada tahun 1605 dijalankan oleh tiga ulama Melayu yakni Khatib Tunggal Abdul Makmur Datuk ri Bandang, Sulaeman Datuk Patimang Khatib Sulung, dan Abdul Jawwad Datuk ri Tiro Khatib Bungsu (Patunru, 1983: 19; Sewang, 2005: 1-5). Setelah fase penerimaan Islam oleh kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar, berlanjut proses penguatan ajaran-ajaran Islam terhadap masyarakat di Sulawesi Selatan. Pada fase penguatan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Selatan, hadirilah seorang ulama bernama Sayyid Jalaluddin Al- Aidid. Beliau kemudian mengambil peranan penting pengajaran Islam di wilayah Pesisir Selatan pulau Sulawesi pada pertengahan abad ke-17 (Chambert-Loir, 1985: 159).
Sejalan hal tersebut dalam sumber lokal Hikayat Kedatangan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid dapat mengungkap kesejarahan tokoh tersebut dalam kaitannya dengan pengembangan warna ajaran Islam yang dibawanya. Melalui naskah teks HSJA mengungkapkan tokoh Sayyid Jalaluddin Al-Aidid yang telah mengambil peran utama dalam proses penyebaran agama Islam yang keberadaannya belum diungkap secara detail dalam narasi sejarah perkembangan Islam di Sulawesi Selatan. Narasi mengenai tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan yang menjadi pengetahuan umum masyarakat, terkesan hanya fokus terhadap tiga ulama Melayu.
Siapa Sayyid Jalaluddin Al-Aidid itu? Berdasarkan penelusuran di lapangan dan naskah tentang kedatangan Sayyid Jalaluddin Al-Adid di Cikoang sekitar pertengahan abab ke-17. Naskah ini menjadi penting dan memberi corak baru terhadap kajian sejarah lokal mengenai islamisasi yang terjadi di Sulawesi Selatan yang hanya bertumpu pada Khatib Tunggal Abdul Makmur Datuk ri Bandang, Sulaeman Datuk Patimang Khatib Sulung, dan Abdul Jawwad Datuk ri Tiro Khatib Bungsu (Datuk Tallua). Melalui teks HSJA dan sumber lainnya dapat disimpulkan bahwa Ajaran yang diajarkan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid lebih pada konsep Nur Muhammad dan terlihat dari kitab-kitab yang digunakan adalah karya Nuruddin Ar- Raniry. Konsep Nur Muhammad yang terdapat dalam Kitab Ma’rifatul Wujud sebagai kitab terpenting bagi komunitas sayyid Al-Aidid sebagai sumber ajaran pokoknya.
Jenis-jenis ritual yang diajarkan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid yaitu Mauduq dan attumate. Ritual Mauduq lebih kepada merayakan proses kelahiran di alam gaib yang dikenal dengan Nur Muhammad. Nur Muhammad diciptakan oleh Allah sebagai sumber segala mahluk dan alam semesta ini. Kedua memperingati proses kelahiran Nabi Muhammad saw ke alam syahdah (alam nyata) sebagai mahluk sempurna yang membawa kebenaran mulak yang diyakini dan diperpegangi oleh umat manusia, memberi petunjuk ke jalan Allah untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Ritual attaumate yang dilaksanakan selama empat puluh malam. secara historis bermula pada kematian Syarifah Fatimah (anak perempuan Sayyid Jalaluddin) dilakukannya attaumate dengan pengajian, berzikir, dan suru ammaca sebagai bentuk doa mengantar almarhum/almarhumah ke beberapa alam yang harus dilewati sampai ke alam kubur. Keluarga yang ditinggalkan melakukan pengajian dan pembacaan Tul Kiyamah selama empat puluh hari dengan berbagai proses di dalamnya, setelah sampai pada hari keempat puluh merupakan hari puncak dari rangkaian attumate. Keluarga yang ditinggalkan menyediakan sebuah alat-alat perabot rumah tangga seperti tempat tidur, kursi, lemari, pakaian, makanan-makanan yang istimewa, alat-alat yang digunakan sehari-hari serta sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk diserahkan dan dipersembahkan ke-anrong gurunya atau guru pabacanya sebagai sedekah. Proses ini sebenarnya lebih kepada mengembalikan mahluk hidup ke alamnya semula sesuai proses penciptaannya selama 40 hari sampai ditiupkan rohnya.
Sedangkan pola jaringan keilmuan dan ajaran yang diajarkan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid pada jalur geohistoris pesisir selatan dan laut Flores melalui jalur hubungan anrong guru dan murid. Seorang anrong guru (mursyid) akan menuntun muridnya mendalami ajaran yang peganginya berdasarkan konsep pemahaman yang diterimanya. Dalam hal ini ajaran Nur Muhammad diterapkan, dalam bentuk ritual yang berhubungan langsung dengan ilmu syariat, hakikat, tarekat, dan ma’rifat. Pola jaringan ini melalui hubungan keguruan dan ikatan kekeluargaan melalui cara perkawinan.
Penelitian ini dapat memberikan gagasan secara global yang melingkupi konteks sosial, ekonomi politik, terhadap eksistensi Sayyid Jalaluddin Al-Aidid dalam mengembangkan ajarannya dan Jaringannya terutama di kawasan geohistoris laut flores dan selat makassar. Perjalanan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid yang bermula dari Aceh melalui Kalimantan sampai Sulawesi, menunjukkan jaringan zona dan pelayaran pada abad ke-17 yang memiliki keterkaitan jalur perdagangan, pelayaran, dan jalur rempah, yang memposisikan Makassar sebagai entry point yang menghubungkan antara kawasan timur dan barat serta Nusantara.