Judul: Kutika Ugi’ Sakke Rupa, Kajian Ekofenomenologi dalam Teknik Pertanian Bugis [Kajian]
Penulis: A. Rahmatia
Penerbit: Perpustakaan Nasional RI
Tahun Terbit: 2020
Tebal Halaman: 204 hlm
Reviewer: Tantry Widiyanarti, Treisa Rany Siburian.
Selain karya sastra besar seperti I La Galigo yang menjadi sastra klasik terpanjang mengalahkan epos Mahabharata, khazanah naskah kuno Bugis juga memiliki Lontara Kutika yang merekam tradisi perhitungan hari di kalangan masyarakat Bugis. Lontara Kutika Ugi’ Sakke Rupa (“Bunga Rampai Kutika Bugis”) merupakan warisan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki manusia Bugis sejak awal peradabannya. Sejak ratusan tahun lalu, manusia Bugis telah memiliki kesadaran untuk mengetahui pergerakan benda langit yang menjadi panduan untuk memulai suatu pekerjaan.
Secara umum, Kutika dimaknai sebagai kumpulan catatan waktu baik dan buruk untuk melakukan suatu kegiatan termasuk ramalan nasib serta prakiraan cuaca untuk mulai bertani atau pergi melaut. Kutika juga menjadi pedoman bagi masyarakat Bugis saat mendirikan rumah, memasuki rumah baru, juga membaca tafsir mimpi. Bisa dikatakan kalau lontara Kutika ini merupakan penentu waktu beribadah, memulai kegiatan pertanian, navigasi pelayaran, dan memprediksi cuaca. Lontara Kutika ini ditemukan di Kalimantan Timur dan merupakan koleksi Museum Mulawarman yang berjudul Kutika Suku Bugis Bone (KSBB) yang kemudian disebut Sakke Rupa (“bunga rampai”) dan pada akhirnya menjadi judul baru lontara Kutika menjadi Kutika Ugi’ Sakke Rupa (“Bunga Rampai Kutika Bugis”) yang selanjutnya disingkat menjadi KUSR.
KUSR sebagai artefak tertulis dari peradaban masa lalu berisikan berbagai metode perhitungan tradisonal. Selain metode perhitungan, KUSR juga memuat pedoman untuk berbagai pekerjaan, mulai dari membangun rumah, mengetahui tanah yang baik, etika membeli perahu, etika bepergian di darat dan di laut, berbagai macam bentuk kompas, pertanda gempa berdasarkan waktu terjadinya, mengetahui arah datangnya Rijahul Gaib , mengetahui posisi Naga Lompo , dan berbagai petunjuk apabila memiliki hajat hingga cara memanggil buaya dalam bahasa Banjar. Berbagai pengetahuan tradisonal yang termuat KUSR tersebut masih relevan sampai saat ini terutama yang berkaitan dengan konservasi lingkungan dalam bidang pertanian.
Melalui lontara KUSR dapat diketahui cara melakukan konservasi lahan pertanian berdasarkan petunjuk alam (bio indicator). Selain sistem hitungan, KUSR juga menjelaskan cara dan teknik yang benar untuk membuka lahan pertanian. Cara tersebut bertujuan untuk memperoleh hasil pertanian yang melimpah karena tanah berada dalam kondisi subur. Ilmu Kutika yang terangkum KUSR merupakan bukti bahwa peradaban manusia Bugis telah mencatat fenomena langit melalui serangkaian metode hitungan. Pada ranah penelitian filologi, pengkajian naskah KUSR dianggap memiliki urgensi yang tinggi karena naskah ini lambat laun akan segera punah karena usia. Selain itu, faktor keterbatasan para penutur asli yang masih mengenal aksara serta bahasa klasik turut membuat kajian melalui ranah filologi penting untuk dilakukan terhadap naskah ini.
Berdasarkan kolofon yang terdapat dalam lontara KUSR, naskah ini ditulis pada tahun 1311 Hijriah atau tahun 1893 Masehi. Hal tersebut merupakan data faktual bahwa 130 tahun lalu, masyarakat Bugis telah memiliki ilmu perhitungan waktu yang setara dengan masyarakat Jawa dan Melayu dan terintegrasi juga dengan tradisi Arab dan Cina. Perhitungan tradisional Masyarakat Bugis berkaitan erat dengan pemahamannya terhadap penciptaan alam semesta. Terdapat berbagai mitos sejarah yang membentuk konsep kosmologi masyarakat Bugis di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan. Kronik dan mitos di wilayah ini menunjukkan bahwa asal-usul suatu daerah berakar dari budaya animis yang masih terus bertahan. Kekuasaan berasal dari dewa langit dan menitis ke bumi di berbagai tempat, seperti Luwu’, Bone, Soppeng, dan Pammana (Wajo), mengingat bahwa semua kerajaan di Sulawesi Selatan mengklaim dinasti mereka berasal dari keturunan dewata yang turun bersama benda-benda magis yang kemudian menjadi pusaka kerajaan.
Masyarakat Bugis memaknai tiga komponen semesta dalam satu simbol yang disebut sulapa’ eppa’ walasuji (“segi empat belah ketupat”). Walasuji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat, dimana setiap sudut dari belah ketupat itu mewakili arah angin, yakni manorang (utara), maniyang (selatan), alau (timur), dan unrai (barat). Konsep ini ditempatkan secara horizontal pada dunia tengah sehingga dipercaya kalau masyarakat Bugis akan memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan karena meliputi empat persegi penjuru mata angin. Sedangkan secara mikro, tubuh manusia disimbolkan melalui sulapa’ eppa’ walasuji yang dimulai dari kepala, tangan, dan kaki. Konsep makro-mikrokosmos masyarakat Bugis sendiri memiliki kesatuan kosmos yang struktural dan fungsional secara seimbang.
Melalui konsep harmoni tersebut, masyarakat Bugis menjalani kehidupannya secara sadar bahwa manusia termasuk bagian dari alam semesta dan alam semesta tersebut berada dalam dirinya. Konsep ini diterapkan dalam kehidupan keseharian melalui sikap wara’ (“waspada”) terhadap tanda alam. Masyarakat Bugis memiliki kebiasaan memperhatikan waktu saat hendak melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan. Melalui petunjuk waktu tersebut, mereka dapat menentukan musim tanam, arah angin saat berlayar, serta menghitung pergantian bulan. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini keberadaan Rijalul Gaib sebagai penjaga keseimbangan bumi. ***