Tangerang Selatan, Manassa.id – Beberapa tahun terakhir, upaya preservasi naskah-naskah kuno di berbagai belahan dunia gencar dilakukan. Beberapa lembaga baik structural pemerintahan maupun lembaga donor mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk upaya ini. Arcadia Fund misalnya, dalam rilis laman resminya, lembaga donor asal negeri Ratu Elizabeth ini setidaknya menggelontorkan lebih dari 500 juta dollar untuk program Endangered Archive Program sejak tahun 2002. Yayasan yang didirikan oleh Peter Baldwin dan Lisbet Rausing ini sudah mempreservasi warisan budaya manusia yang terancam punah termasuk naskah-naskah kuno di berbagai belahan dunia sebanyak 304 terrabyte dalam penyimpanan digitalnya. Semua itu dilakukan demi memproteksi warisan budaya dunia dan lingkungan agar tidak punah.
Sebagai kawasan yang memiliki tingkat kompleksitas budaya dan lingkungan yang beragam, Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi keterancaman akan kepunahan warisan budaya. Begitu juga dengan naskah-naskah kuno di kawasan ini. Berbagai penyebab terancam punahnya naskah-naskah kuno di kawasan ini, mulai dari konflik, perang, bencana alam, perubahan sosial, kelalaian baik disengaja maupun akibat ketidakpahaman pemilik akan perawatannya.
Upaya preservasi naskah-naskah kuno tersebut tentu merupakan sebuah keharusan demi keberlangsungan tradisi, budaya, dan kearifan lokal penduduk di Asia Tenggara. Namun upaya preservasi tersebut belum maksimal. “Setiap tahun, aplikasi yang diajukan dari kawasan Asia Tenggara ke Enda/ngered Archive Program (EAP) British Library semakin menurun jumlahnya. Padahal kawasan ini memiliki kekayaan dan tingkat keragaman manuskrip kuno yang sangat tinggi”. Ungkap Oman Fathurahman, advisory board EAP dalam presentasinya pada Workshop on Preservation of Manuscripts in Southeast Asia di Hotel Santika Premiere Bintaro, Tangerang Selatan, Kamis(5/7/2018). “Setelah dikaji lebih lanjut, kendala para pemilik naskah kuno di Asia Tenggara mempreservasi naskah-naskahnya adalah mereka kesulitan membuat proposal dengan baik”, sambung guru besar filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
“Oleh karena itu, program DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia) ini dilaksanakan adalah untuk mengakomodasi kesulitan-kesulitan seperti itu. Program ini bersifat top to down sehingga upaya preservasi naskah-naskah kuno di Asia Tenggara dapat berjalan dengan optimal”, ungkap Oman.
Butuh Sumber Daya Manusia yang Mumpuni
Untuk melakukan upaya penyelamatan naskah-naskah kuno tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan, diperlukan wawasan, keilmuan, integritas dan yang tak kalah penting pengalaman untuk melakukannya. “Untungnya di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia terdapat asosiasi pemerhati naskah-naskah kuno yang tergabung dalamManassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), ujar Oman. “Di luar negeri, Manassa sangat dipandang dan dianggap memiliki kualitas yang mumpuni dalam dunia pernaskahan ini”. Oleh karenanya program DREAMSEA ini bergantung pada sumber daya manusia yang dimiliki Manassa. “DREAMSEA without Manassa is nothing”, tandasnya.
Pernyataan Oman tentang Manassa tidaklah berlebihan sebab ia pernah menjabat sebagai ketua umum Manassa dua periode dalam kurun waktu 2008-2012 dan 2012-2016. Tentu berbekal dengan pengalaman itu, ia amatlah mengenal potensi besar yang dimiliki Manassa. “DREAMSEA diberikan grant oleh Arcadia Fund tentu juga tidak lepas dari potensi yang dimiliki Manassa untuk mensukseskan program ini”, ujar pria yang juga menjabat sebagai principal investigator program DREAMSEA. “Mayoritas pengurus dan anggota Manassa sangat berpengalaman menangani program preservasi naskah-naskah kuno baik di dalam maupun luar negeri, sehingga saya optimis program ini akan berhasil dengan Manassa sebagai salah satu pilar utamanya”, ujarnya.
Dalam workshop yang dihadiri oleh 45 peserta baik dalam maupun luar negeri ini, turut hadir pula ketua umum Manassa, Dr. Munawar Holil, M.Hum., Sekretaris Umum, Dr. Pramono, dan bendahara umum, Dr. Priscila F. Limbong, M.Hum., dan kabid publikasi dan penerbitan, Aditia Gunawan, M.A. (AM)
Sebagai kawasan yang memiliki tingkat kompleksitas budaya dan lingkungan yang beragam, Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi keterancaman akan kepunahan warisan budaya. Begitu juga dengan naskah-naskah kuno di kawasan ini. Berbagai penyebab terancam punahnya naskah-naskah kuno di kawasan ini, mulai dari konflik, perang, bencana alam, perubahan sosial, kelalaian baik disengaja maupun akibat ketidakpahaman pemilik akan perawatannya.
Upaya preservasi naskah-naskah kuno tersebut tentu merupakan sebuah keharusan demi keberlangsungan tradisi, budaya, dan kearifan lokal penduduk di Asia Tenggara. Namun upaya preservasi tersebut belum maksimal. “Setiap tahun, aplikasi yang diajukan dari kawasan Asia Tenggara ke Enda/ngered Archive Program (EAP) British Library semakin menurun jumlahnya. Padahal kawasan ini memiliki kekayaan dan tingkat keragaman manuskrip kuno yang sangat tinggi”. Ungkap Oman Fathurahman, advisory board EAP dalam presentasinya pada Workshop on Preservation of Manuscripts in Southeast Asia di Hotel Santika Premiere Bintaro, Tangerang Selatan, Kamis(5/7/2018). “Setelah dikaji lebih lanjut, kendala para pemilik naskah kuno di Asia Tenggara mempreservasi naskah-naskahnya adalah mereka kesulitan membuat proposal dengan baik”, sambung guru besar filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
“Oleh karena itu, program DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia) ini dilaksanakan adalah untuk mengakomodasi kesulitan-kesulitan seperti itu. Program ini bersifat top to down sehingga upaya preservasi naskah-naskah kuno di Asia Tenggara dapat berjalan dengan optimal”, ungkap Oman.
Butuh Sumber Daya Manusia yang Mumpuni
Untuk melakukan upaya penyelamatan naskah-naskah kuno tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan, diperlukan wawasan, keilmuan, integritas dan yang tak kalah penting pengalaman untuk melakukannya. “Untungnya di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia terdapat asosiasi pemerhati naskah-naskah kuno yang tergabung dalamManassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), ujar Oman. “Di luar negeri, Manassa sangat dipandang dan dianggap memiliki kualitas yang mumpuni dalam dunia pernaskahan ini”. Oleh karenanya program DREAMSEA ini bergantung pada sumber daya manusia yang dimiliki Manassa. “DREAMSEA without Manassa is nothing”, tandasnya.
Pernyataan Oman tentang Manassa tidaklah berlebihan sebab ia pernah menjabat sebagai ketua umum Manassa dua periode dalam kurun waktu 2008-2012 dan 2012-2016. Tentu berbekal dengan pengalaman itu, ia amatlah mengenal potensi besar yang dimiliki Manassa. “DREAMSEA diberikan grant oleh Arcadia Fund tentu juga tidak lepas dari potensi yang dimiliki Manassa untuk mensukseskan program ini”, ujar pria yang juga menjabat sebagai principal investigator program DREAMSEA. “Mayoritas pengurus dan anggota Manassa sangat berpengalaman menangani program preservasi naskah-naskah kuno baik di dalam maupun luar negeri, sehingga saya optimis program ini akan berhasil dengan Manassa sebagai salah satu pilar utamanya”, ujarnya.
Dalam workshop yang dihadiri oleh 45 peserta baik dalam maupun luar negeri ini, turut hadir pula ketua umum Manassa, Dr. Munawar Holil, M.Hum., Sekretaris Umum, Dr. Pramono, dan bendahara umum, Dr. Priscila F. Limbong, M.Hum., dan kabid publikasi dan penerbitan, Aditia Gunawan, M.A. (AM)