JAKARTA- Diskusi Naskah Nusantara (DNN) merupakan acara rutin yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS RI) setiap bulannya. Kali ini, acara tersebut mengangkat tema peranan gender pada masa Jawa kuna.
Acara yang dilaksanakan sekali sebulan ini diikuti oleh beberapa filolog, sastrawan, pengamat budaya, hingga mahasiswa yang sedang penelitian yang dimana mengundang Ibu Titi Surti Nastiti sebagai pembicara utama guna memaparkan bagaimana peranan gender di kehidupan masyarakat Jawa kuna baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, agama, dan kesenian.
Titi Surti Nastiti, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan dalam MATERI PRESENTASI bahwa bahasa Indonesia dikenal kata laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita. Kata tersebut didefinisikan pada jenis kelamin tertentu yaitu laki-laki adalah manusia yang mempunyai penis, jakun, memproduksi sperma, adakalanya berkumis dan berjanggut. Perempuan adalah manusia yang mempunyai rahim, vagina, payudara dan memproduksi sel-sel telur, sehingga dapat hamil, melahirkan, serta menyusui.
Dalam bahasa Melayu kata laki-laki dan perempuan mempunyai arti yaitu perempuan berasal dari akar kata empu atau empuan dengan imbuhan pe atau pe-an yang berarti perempuan atau istri raja sedangkan laki-laki kata dasarnya adalah laki yang dalam bahasa Indonesia terdapat pengulangan menjadi laki-laki dan diberi awalan le menjadi lelaki. Dalam kata Sanskerta pria berasal dari kata priyá yang berarti tercinta, kekasih, disukai, diinginkan, sedangkan wanita dari kata vanita akar kata van yang berarti tercinta, istri, perempuan dan anak.
Pengertian laki-laki dan perempuan dibedakan atas jenis kelamin (biologis) dan gender (sosial budaya). Pengertian jenis kelamin lebih mengacu pada perbedaan fisik yang ditentukan secara biologis (laki-laki dan perempuan), merupakan kodrat yang tidak bisa digantikan. Pengertian gender dikonstruksi secara sosial budaya menganggap laki-laki lebih kuat, agresif, rasional dan lebih dominan, sedangkan perempuan sebaliknya, lebih lemah, pasif, emosional dan dependen.
Kedudukan serta peranan laki-laki dan perempuan tidak selalu sama dalam setiap kebudayaan, jadi bagaimanakah peranan gender di dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, agama dan kesenian?
Dalam Bidang Politik
Dalam Sejarah Kuna Indonesia dikenal adanya kesetaraan gender mulai dari jabatan yang paling tinggi di kerajaan sampai kepada jabatan di desa. Jabatan tersebut diambil alih oleh lakilaki maupun perempuan. Jabatan tersebut diperoleh baik secara keturunan maupun prestasi. Jabatan tersebut dimulai dari urutan raja dan ratu, putra mahkota dan putri mahkota, rakai (penguasa wilayah watak), pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa (hulu wanua, hulair, wariga, dll.).
Dalam Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, kaum perempuan pada masa Jawa Kuna sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, baik sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri.
Dalam Bidang Ekonomi
Perempuan membantu perekonomian keluarga dengan cara membantu suami menggarap sawah atau ladang. Di sela-sela kesibukan bekerja di sawah/lading serta menyelesaikan tugas rumah tangga, mereka membuat barang kerajinan seperti kain, anyaman, benda-benda dari tanah liat, gula, minyak dan sebagainya, yang digunakan untuk keperluan sendiri ataupun diperjualbelikan. Selain itu, kaum perempuan harus pandai berdagang di tingkat eceran sampai saudagar (baṇigramī).
Dalam pembagian kerja secara fisik dapat diamati dari data artefaktual yang berupa relief. Pekerjaan yang dilakukan di sawah/ladang misalnya, digambarkan perempuan menanam padi dan memanen hasil pertanian, sedangkan laki-laki mencangkul dan membajak. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki tidak bisa memasak. Pekerjaan tersebut saat ini dapat ditemukan di dalam kehidupan masyarakat Jawa dan Bali.
Bidang Hukum
Pada masa Jawa Kuna, masalah hukum diselesaikan oleh pejabat kehakiman. Tidak banyak data tekstual yang menuliskan tentang masalah hukum. Salah satunya prasasti yang memuat bidang hukum adalah prasasti Guntur (907 M.). Dari masa Matarām Kuna, prasasti ini menyebutkan adanya perempuan yang menjadi saksi (tatra sākṣī) dan pemutus suatu perkara (pinariccheda guṇadośa). Sementara, pada masa Majapahit selain pejabat kehakiman yang disebut dharmmopapaṭṭi, ada semacam Dewan Pertimbangan Kerajaan (bhaṭāra saptaprabhu) yang beranggotakan keluarga kerajaan. Pada masa Hayam Wuruk memerintah dengan menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja, ayah-bunda raja, paman-bibi raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya.
Bidang Agama
Dalam beberapa prasasti menyebutkan adanya pasangan suami istri yang membebaskan atau membeli tanah untuk keperluan suatu bangunan suci sebagai dharmma mereka. Selain itu dalam prasasti Taji (901 M.) menyebutkan adanya warga desa laki-laki dan perempuan yang membeli tanah bagi sīma suatu bangunan suci. Data artefaktual pun memperlihatkan hal yang sama, pada relief banyak adegan yang menggambarkan adegan orang sedang memuja candi, baik perseorangan, pasangan suami istri maupun kelompok. Dalam sebuah wanasrama mandala, tingkatan pendeta adalah sebagai berikut: (1) tapowana (ajar-ajar), (2) pangubwanan, (3) pangmayuwan, (4) kaki dan endang.
Bidang Kesenian
Di dalam dunia seni, terutama seni pertunjukan, laki-laki dan perempuan pada masa Jawa Kuna telah mempertunjukkan keahliannya di depan penonton. Dari data artefaktual diketahui bahwa keahliannya ini tidak hanya dipertunjukan di dalam ruangan seperti yang dilakukan dalam pesta kaum bangsawan, tetapi juga ada kesenian yang dipertunjukan di jalan. Bentuk pertunjukan yang dipertontonkan selain tari-tarian ada juga akrobat seperti yang digambarkan dalam relief Candi Borobudur. Dalam hal ini kesenian tidak hanya untuk hiburan melainkan sebagai sumber penghasilan dan mereka wajib membayar pajak dari hasil penghasilan itu.
Kesetaraan kedudukan dan peranan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Jawa Kuna berakar pada budaya yang tidak membedakan hak waris bagi laki-laki maupun perempuan di semua kalangan. Budaya ini tidak berubah dari masa ke masa, yaitu mulai dari masa Matarām Kuna sampai masa Majapahit. Hanya mungkin ada aturan tertentu yang harus diikuti, misalnya untuk menduduki posisi putra/putri mahkota harus anak pertama dari permaisuri, contohnya adalah Śri Rājasawarddhanī/Kusumawarddhanī yang dalam prasasti Kañcana/Buṅur menyebutkan bahwa ia adalah anak bungsu Hayam Wuruk dan dari kakawin Nāgarakṛtāgama. Adapun putra pertama Hayam Wuruk yang disebutkan dalam teks Pararaton adalah Bhre Wirabhūmi, tetapi karena ia bukan putra dari permasisuri maka ia tidak dapat menduduki jabatan putra mahkota.
Tidak adanya perbedaan hak waris bagi laki-laki dan perempuan melainkan adapun konsep yang mempengaruhi domestik dan publik di dalam masyarakat Jawa Kuna, di mana lakilaki maupun perempuan dapat menjabat sebagai tokoh publik asal mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan. Tidak semua peranan dan kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna setara. Ada beberapa aspek yang tidak setara, baik ketidaksetaraan itu lebih tinggi atau lebih rendah. Hal yang sama juga terjadi pada Wikramawarddhana ketika ia mengeluarkan prasasti Patapan II (1385 M.) dan prasasti Tirah atau Karaŋ Bogěm (1387 M.). Pada saat Wikramawarddhana mengeluarkan prasasti beliau belum menjadi seorang raja dan kedua prasastinya itu ia memakai lambang daerah Lasěm yang merupakan daerah kekuasaan Kusumawarddhanī. Hal ini mencerminkan bahwa kekuasaan Kusumawarddhanī lebih besar dari Wikramawarddhana.
Adapun peranan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki yaitu bela atau sati dengan kata lain perempuan yang tidak dapat menjabat sebagai pejabat tertinggi keagamaan atau perempuan yang tidak dapat menjadi seorang kawi. Apabila ditelusuri secara mendalam, yang menyebabkan adanya ketidaksetaraan adat istiadat tersebut berasal dari kebudayaan India. Tidak banyak ditemukan di negara asal yang melakukan bela atau sati dari kaum laki-laki. Di samping itu masyarakat Jawa Kuna tidak menutup kemungkinan menerapkan secara langsung ke dalam lingkungan budayanya dengan tetap sejalan menurut adat istiadat yang telah berlaku.
Acara yang dilaksanakan sekali sebulan ini diikuti oleh beberapa filolog, sastrawan, pengamat budaya, hingga mahasiswa yang sedang penelitian yang dimana mengundang Ibu Titi Surti Nastiti sebagai pembicara utama guna memaparkan bagaimana peranan gender di kehidupan masyarakat Jawa kuna baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, agama, dan kesenian.
Titi Surti Nastiti, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan dalam MATERI PRESENTASI bahwa bahasa Indonesia dikenal kata laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita. Kata tersebut didefinisikan pada jenis kelamin tertentu yaitu laki-laki adalah manusia yang mempunyai penis, jakun, memproduksi sperma, adakalanya berkumis dan berjanggut. Perempuan adalah manusia yang mempunyai rahim, vagina, payudara dan memproduksi sel-sel telur, sehingga dapat hamil, melahirkan, serta menyusui.
Dalam bahasa Melayu kata laki-laki dan perempuan mempunyai arti yaitu perempuan berasal dari akar kata empu atau empuan dengan imbuhan pe atau pe-an yang berarti perempuan atau istri raja sedangkan laki-laki kata dasarnya adalah laki yang dalam bahasa Indonesia terdapat pengulangan menjadi laki-laki dan diberi awalan le menjadi lelaki. Dalam kata Sanskerta pria berasal dari kata priyá yang berarti tercinta, kekasih, disukai, diinginkan, sedangkan wanita dari kata vanita akar kata van yang berarti tercinta, istri, perempuan dan anak.
Pengertian laki-laki dan perempuan dibedakan atas jenis kelamin (biologis) dan gender (sosial budaya). Pengertian jenis kelamin lebih mengacu pada perbedaan fisik yang ditentukan secara biologis (laki-laki dan perempuan), merupakan kodrat yang tidak bisa digantikan. Pengertian gender dikonstruksi secara sosial budaya menganggap laki-laki lebih kuat, agresif, rasional dan lebih dominan, sedangkan perempuan sebaliknya, lebih lemah, pasif, emosional dan dependen.
Kedudukan serta peranan laki-laki dan perempuan tidak selalu sama dalam setiap kebudayaan, jadi bagaimanakah peranan gender di dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, agama dan kesenian?
Dalam Bidang Politik
Dalam Sejarah Kuna Indonesia dikenal adanya kesetaraan gender mulai dari jabatan yang paling tinggi di kerajaan sampai kepada jabatan di desa. Jabatan tersebut diambil alih oleh lakilaki maupun perempuan. Jabatan tersebut diperoleh baik secara keturunan maupun prestasi. Jabatan tersebut dimulai dari urutan raja dan ratu, putra mahkota dan putri mahkota, rakai (penguasa wilayah watak), pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa (hulu wanua, hulair, wariga, dll.).
Dalam Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, kaum perempuan pada masa Jawa Kuna sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, baik sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri.
Dalam Bidang Ekonomi
Perempuan membantu perekonomian keluarga dengan cara membantu suami menggarap sawah atau ladang. Di sela-sela kesibukan bekerja di sawah/lading serta menyelesaikan tugas rumah tangga, mereka membuat barang kerajinan seperti kain, anyaman, benda-benda dari tanah liat, gula, minyak dan sebagainya, yang digunakan untuk keperluan sendiri ataupun diperjualbelikan. Selain itu, kaum perempuan harus pandai berdagang di tingkat eceran sampai saudagar (baṇigramī).
Dalam pembagian kerja secara fisik dapat diamati dari data artefaktual yang berupa relief. Pekerjaan yang dilakukan di sawah/ladang misalnya, digambarkan perempuan menanam padi dan memanen hasil pertanian, sedangkan laki-laki mencangkul dan membajak. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki tidak bisa memasak. Pekerjaan tersebut saat ini dapat ditemukan di dalam kehidupan masyarakat Jawa dan Bali.
Bidang Hukum
Pada masa Jawa Kuna, masalah hukum diselesaikan oleh pejabat kehakiman. Tidak banyak data tekstual yang menuliskan tentang masalah hukum. Salah satunya prasasti yang memuat bidang hukum adalah prasasti Guntur (907 M.). Dari masa Matarām Kuna, prasasti ini menyebutkan adanya perempuan yang menjadi saksi (tatra sākṣī) dan pemutus suatu perkara (pinariccheda guṇadośa). Sementara, pada masa Majapahit selain pejabat kehakiman yang disebut dharmmopapaṭṭi, ada semacam Dewan Pertimbangan Kerajaan (bhaṭāra saptaprabhu) yang beranggotakan keluarga kerajaan. Pada masa Hayam Wuruk memerintah dengan menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja, ayah-bunda raja, paman-bibi raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya.
Bidang Agama
Dalam beberapa prasasti menyebutkan adanya pasangan suami istri yang membebaskan atau membeli tanah untuk keperluan suatu bangunan suci sebagai dharmma mereka. Selain itu dalam prasasti Taji (901 M.) menyebutkan adanya warga desa laki-laki dan perempuan yang membeli tanah bagi sīma suatu bangunan suci. Data artefaktual pun memperlihatkan hal yang sama, pada relief banyak adegan yang menggambarkan adegan orang sedang memuja candi, baik perseorangan, pasangan suami istri maupun kelompok. Dalam sebuah wanasrama mandala, tingkatan pendeta adalah sebagai berikut: (1) tapowana (ajar-ajar), (2) pangubwanan, (3) pangmayuwan, (4) kaki dan endang.
Bidang Kesenian
Di dalam dunia seni, terutama seni pertunjukan, laki-laki dan perempuan pada masa Jawa Kuna telah mempertunjukkan keahliannya di depan penonton. Dari data artefaktual diketahui bahwa keahliannya ini tidak hanya dipertunjukan di dalam ruangan seperti yang dilakukan dalam pesta kaum bangsawan, tetapi juga ada kesenian yang dipertunjukan di jalan. Bentuk pertunjukan yang dipertontonkan selain tari-tarian ada juga akrobat seperti yang digambarkan dalam relief Candi Borobudur. Dalam hal ini kesenian tidak hanya untuk hiburan melainkan sebagai sumber penghasilan dan mereka wajib membayar pajak dari hasil penghasilan itu.
Kesetaraan kedudukan dan peranan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Jawa Kuna berakar pada budaya yang tidak membedakan hak waris bagi laki-laki maupun perempuan di semua kalangan. Budaya ini tidak berubah dari masa ke masa, yaitu mulai dari masa Matarām Kuna sampai masa Majapahit. Hanya mungkin ada aturan tertentu yang harus diikuti, misalnya untuk menduduki posisi putra/putri mahkota harus anak pertama dari permaisuri, contohnya adalah Śri Rājasawarddhanī/Kusumawarddhanī yang dalam prasasti Kañcana/Buṅur menyebutkan bahwa ia adalah anak bungsu Hayam Wuruk dan dari kakawin Nāgarakṛtāgama. Adapun putra pertama Hayam Wuruk yang disebutkan dalam teks Pararaton adalah Bhre Wirabhūmi, tetapi karena ia bukan putra dari permasisuri maka ia tidak dapat menduduki jabatan putra mahkota.
Tidak adanya perbedaan hak waris bagi laki-laki dan perempuan melainkan adapun konsep yang mempengaruhi domestik dan publik di dalam masyarakat Jawa Kuna, di mana lakilaki maupun perempuan dapat menjabat sebagai tokoh publik asal mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan. Tidak semua peranan dan kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna setara. Ada beberapa aspek yang tidak setara, baik ketidaksetaraan itu lebih tinggi atau lebih rendah. Hal yang sama juga terjadi pada Wikramawarddhana ketika ia mengeluarkan prasasti Patapan II (1385 M.) dan prasasti Tirah atau Karaŋ Bogěm (1387 M.). Pada saat Wikramawarddhana mengeluarkan prasasti beliau belum menjadi seorang raja dan kedua prasastinya itu ia memakai lambang daerah Lasěm yang merupakan daerah kekuasaan Kusumawarddhanī. Hal ini mencerminkan bahwa kekuasaan Kusumawarddhanī lebih besar dari Wikramawarddhana.
Adapun peranan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki yaitu bela atau sati dengan kata lain perempuan yang tidak dapat menjabat sebagai pejabat tertinggi keagamaan atau perempuan yang tidak dapat menjadi seorang kawi. Apabila ditelusuri secara mendalam, yang menyebabkan adanya ketidaksetaraan adat istiadat tersebut berasal dari kebudayaan India. Tidak banyak ditemukan di negara asal yang melakukan bela atau sati dari kaum laki-laki. Di samping itu masyarakat Jawa Kuna tidak menutup kemungkinan menerapkan secara langsung ke dalam lingkungan budayanya dengan tetap sejalan menurut adat istiadat yang telah berlaku.