Satu persatu sesepuh Sunda Wiwitan wafat, membawa serta keahlian mereka membaca seratan atau tulisan Sunda Kuno. Takdir yang membuat Pangeran Djatikusuma prihatin sekaligus khawatir akan punahnya ajaran dan tuntunan Sunda Wiwitan yang ditulis dengan aksara Cacarakan dalam berpuluh-puluh ribu lembar naskah kuno. Siapa lagi yang bisa menyampaikan dan menerjemahkan buah pemikiran Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Koesoema Widjaya Ningrat, pencetus ajaran Sunda Wiwitan ini?
Pangeran Djatikusumah mengungkapkan keprihatinannya kepada sang putri, Ammy Ratna Gumilang Damiasih, yang menerimanya sebagai sebuah titah. Titah itu berisi pesan agar meneruskan tugas para sesepuh untuk menerjemahkan seratan Pangeran Madrais.
Bagi Ammy yang buta aksara Sunda kuno, tugas itu tentu tidak mudah. Tapi secara spontan ia menjawab, “baik, akan saya coba.”
Di tahun 1995, Pangeran Djatikusuma menyerahkan secarik kertas bertuliskan tiga baris kalimat Cacarakan beserta alih aksaranya. Berbekal itulah, Ammy mulai mempelajari bahasa kuno yang berhasil ia kuasai dalam waktu satu tahun. Kini, Ammy sudah bisa membaca dan menerjemahkan lebih dari 40 ribu halaman.
Isi Seratan Pangeran Madrais
Selama 20 tahun lebih menerjemahkan seratan Pangeran Madrais, Ammy seringkali dibuat takjub dengan pemikiran kakek buyutnya itu. Banyak ajaran Pangeran Madrais yang relevan dengan kondisi negara saat ini. Bahkan, ada tuntunannya yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Salah satunya, Sila 4 Pancasila.
“Karena satu dan lain hal tentang buku ini jangan mengambil keputusan tergesa-gesa, harus berdiskusi tentang apa yang sebaiknya diputuskan supaya menjadi kesepakatan yang dapat diterima semua pihak," kata Ammy.
Tidak hanya itu. Pangeran Madrais juga menuliskan ramalannya tentang berbagai peristiwa yang bakal terjadi di Tanah Air. Ammy menyaksikan ramalan-ramalan itu benar-benar terbukti. Seperti, terjadinya kerusuhan Mei dan krisis moneter 1998, juga Tsunami Aceh pada 2004.
Ramalan Pangeran Madrais tentang bencana yang menewaskan ratusan ribu warga Aceh ini, ditemukan Ammy seminggu sebelum kejadian. Dalam seratannya, Pangeran Madrais meramal akan terjadi musibah yang sangat besar.
“Banyak bangkai di sana dan air laut akan naik,” tulis Madrais.
Ammy sempat meminta anak-anaknya untuk menghubungi ayahanda Pangeran Djatikusuma, namun tak diindahkan. Hingga kemudian terjadilah gempa yang diikuti tsunami di Serambi Mekah, yang meninggalkan penyesalan sangat dalam pada diri Ammy.
“Ketika terjadi kejadian itu, saya langsung marah pada anak-anak. Ini loh kejadiannya yang mama maksud. Kalau seandainya saya bisa menelepon rama (ayah), mungkin tidak akan terlalu banyak korban, sekalipun itu harus terjadi,” kata Ammy menyesalkan.
Kasus sengketa tanah adat yang kini dialami warga Sunda Wiwitan, telah diramalkan pula oleh Pangeran Madrais. Termasuk, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan penghayat kepercayaan bisa dicantumkan dalam kolom agama di KTP. Ammy membaca ramalan itu, dua hari setelah MK mengetok palu pada 7 November.
“Seperti apa yang terjadi saat ini, sudah sampai pada waktunya. Rantai yang membelenggu pemilik bumi yang sesungguhnya dihancurkan. Pemilik bumi yang sesungguhnya sudah seharusnya mendapatkan hak karena ada sebuah utang janji yang harus segera dilunasi. (Kebo mulih pakandangan). Namun, ada penghalang yang berusaha agar pemilik bumi tidak mendapatkan haknya," tutur dia.
“Pemerintah punya kewenangan untuk menetapkan kesamaan hak tanpa menimbulkan kegaduhan,” ujar Ammy memaparkan isi naskah Pangeran Madrais, di Cigugur Kabupaten Kuningan, Selasa 28 November.
Seratan Pangeran Madrais mengandung tatanan kehidupan yang meliputi; sejarah hidup Pangeran Madrais, ajaran perilaku hidup, fenomena alam, kondisi sosial budaya masyarakat, pendidikan, tata pemerintahan, pengobatan, dan petunjuk dalam menyelesaikan permasalahan.
Ammy menyebutkan, tuntunan yang ditulis oleh Pangeran Madarais menyentuh pada hal yang sangat mendasar, yaitu ngarasa (merasakan), rumasa (menyadari), tumarima (menerima) papasten dari Yang Maha Kuasa.
“Bahwa kita terlahir sebagai manusia dan sebagai bangsa yang selayaknya menjalankan cara-cirinya,” kata perempuan berpotongan rambut bob itu.
Dalam naskah kuno itu juga termuat pesan Pangeran Madrais kepada keturunannya, yang menjadi motivasi Ammy untuk menyelesaikan transliterasi ajaran leluhurnya.
“Bagi keturunan Madrais diharuskan dapat membaca seratan ini, supaya mengetahui juga paham apa yang menjadi amanat titis tulis," ujarnya.
Siapa Pangeran Madrais?
PRESENTASI. Keturunan Pangeran Madrais, Ammy Ratna Gumilang Damiasih tengah mempresentasikan hasil transliterasi naskah kuno seratan kakek buyutnya. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
Madrais adalah putra Pangeran Alibassa dari Kepangeranan Gebang dan R. Kastewi keturunan Tumenggung Jayadipura. Ia lahir pada tanggal 9 Mulud 1765 (1832 Masehi) di Susukan Ciawigebang dalam situasi pengejaran Kolonial Belanda. Demi keselamatannya, Pangeran Madrais dititipkan kepada Ki Sastrawardana di Cigugur dengan pesan harus diakui sebagai anaknya untuk mengelabui pihak kolonial Belanda.
Pada1869, Madrais terlibat dalam peristiwa pemberontakan melawan Belanda di Tambun Bekasi. Ia disebut Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon.
Madrais sempat menghilang dan dikabarkan wafat. Padahal, ia melakukan perenungan di Kramat Candana dan mendapat pencerahan yang mengubah strategi perlawananterhadap Belanda. Dari yang semula berupa perlawanan fisik menjadi gerakan budaya yang menggugah tentang kesadaran kebangsaan atau jati diri suatu bangsa dan kemanusiaan.
Namun Pemerintah Kolonial Belanda tetap memandang gerakan itu sebagai sebuah ancaman. Pangeran Madrais kemudian dituduh melakukan pemerasan dan penipuan terhadap masyarakat sehingga diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
Sejak mendapat pencerahan pertama di tahun 1870 dan selama di pengasingan hingga kembali ke Cigugur, Madrais terus menuliskan tuntunan kehidupan sampai dengan akhir hayatnya pada tahun 1939. Tuntutan Titis Tulis itulah yang menjadi warisan berharga Pangeran Madrais untuk keturunan, pengikutnya, dan bangsa ini.
Menyelamatkan Seratan Madrais
Naskah kuno Pangeran Madrais telah berusia ratusan tahun. Tak heran, jika kondisi naskah berupa kertas itu sebagian sudah rusak dimakan zaman.
“Ada yang masih bagus, ada yang dipegang saja sudah hancur,” kata Ammy.
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Mannassa), Munawar Holil menyebutkan, penyelamatan terhadap naskah-naskah Madrais perlu segera dilakukan mengingat naskah kuno itu tergolong peninggalan khusus atau tidak ada di tempat lain. Jika hilang atau punah, Munawar khawatir akan ada bagian penting yang hilang dari sejarah Kuningan.
“Sebenarnya sudah sejak lama, kami ingin membuat konservasi representasi perlindungan secara umum. Karena kalau naskah ini hilang, hilang bagian penting dari sebagian besar sejarah Kuningan. Ini sangat penting untuk diselamatkan, karena begitu hilang secara fisik, hilang juga isinya,” ujar Munawar.
Upaya penyelamatan naskah Madrais mulai dilakukan dengan melakukan proses digitalisasi. Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, Tedi Permadi memimpin langsung proses digitalisasi naskah yang diperkirakan jumlahnya mencapai 50 ribu halaman itu.
Dalam paparannya, Tedi mengatakan, naskah umumnya ditulis dengan aksara Cacarakan dan bahasa Sunda. Kertas yang digunakan berupa folio bergaris dan buku.
“Saat ini kondisinya terancam rusak dengan warna kertas mulai menguning, lembab, berlubang, dan rapuh,” ujar Tedi.
Kondisi naskah yang terancam rusak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan, tempat penyimpanan yang tidak memadai, faktor biologis, dan pengetahuan dalam menangani naskah yang awalnya kurang tepat. Kondisi naskah yang seperti itu, menyulitkan proses digitalisasi.
“Mengingat kondisi naskah yang sebagian besar mulai rapuh, digitalisasi dilakukan dengan cara memotret,” ujar Tedi.
Kegiatan digitalisasi naskah ini, menurut Tedi, mendapat dukungan penuh dari ketua, keluarga, dan anggota masyarakat Adat Karuhun (Akur) Sunda. Harapannya, generasi berikutnya bisa mewarisi nilai-nilai budaya Sunda Wiwitan.
Sumber: https://www.rappler.com/indonesia/berita/190857-upaya-penyelamatan-naskah-kuno-sunda-wiwitan
Pangeran Djatikusumah mengungkapkan keprihatinannya kepada sang putri, Ammy Ratna Gumilang Damiasih, yang menerimanya sebagai sebuah titah. Titah itu berisi pesan agar meneruskan tugas para sesepuh untuk menerjemahkan seratan Pangeran Madrais.
Bagi Ammy yang buta aksara Sunda kuno, tugas itu tentu tidak mudah. Tapi secara spontan ia menjawab, “baik, akan saya coba.”
Di tahun 1995, Pangeran Djatikusuma menyerahkan secarik kertas bertuliskan tiga baris kalimat Cacarakan beserta alih aksaranya. Berbekal itulah, Ammy mulai mempelajari bahasa kuno yang berhasil ia kuasai dalam waktu satu tahun. Kini, Ammy sudah bisa membaca dan menerjemahkan lebih dari 40 ribu halaman.
Isi Seratan Pangeran Madrais
Selama 20 tahun lebih menerjemahkan seratan Pangeran Madrais, Ammy seringkali dibuat takjub dengan pemikiran kakek buyutnya itu. Banyak ajaran Pangeran Madrais yang relevan dengan kondisi negara saat ini. Bahkan, ada tuntunannya yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Salah satunya, Sila 4 Pancasila.
“Karena satu dan lain hal tentang buku ini jangan mengambil keputusan tergesa-gesa, harus berdiskusi tentang apa yang sebaiknya diputuskan supaya menjadi kesepakatan yang dapat diterima semua pihak," kata Ammy.
Tidak hanya itu. Pangeran Madrais juga menuliskan ramalannya tentang berbagai peristiwa yang bakal terjadi di Tanah Air. Ammy menyaksikan ramalan-ramalan itu benar-benar terbukti. Seperti, terjadinya kerusuhan Mei dan krisis moneter 1998, juga Tsunami Aceh pada 2004.
Ramalan Pangeran Madrais tentang bencana yang menewaskan ratusan ribu warga Aceh ini, ditemukan Ammy seminggu sebelum kejadian. Dalam seratannya, Pangeran Madrais meramal akan terjadi musibah yang sangat besar.
“Banyak bangkai di sana dan air laut akan naik,” tulis Madrais.
Ammy sempat meminta anak-anaknya untuk menghubungi ayahanda Pangeran Djatikusuma, namun tak diindahkan. Hingga kemudian terjadilah gempa yang diikuti tsunami di Serambi Mekah, yang meninggalkan penyesalan sangat dalam pada diri Ammy.
“Ketika terjadi kejadian itu, saya langsung marah pada anak-anak. Ini loh kejadiannya yang mama maksud. Kalau seandainya saya bisa menelepon rama (ayah), mungkin tidak akan terlalu banyak korban, sekalipun itu harus terjadi,” kata Ammy menyesalkan.
Kasus sengketa tanah adat yang kini dialami warga Sunda Wiwitan, telah diramalkan pula oleh Pangeran Madrais. Termasuk, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan penghayat kepercayaan bisa dicantumkan dalam kolom agama di KTP. Ammy membaca ramalan itu, dua hari setelah MK mengetok palu pada 7 November.
“Seperti apa yang terjadi saat ini, sudah sampai pada waktunya. Rantai yang membelenggu pemilik bumi yang sesungguhnya dihancurkan. Pemilik bumi yang sesungguhnya sudah seharusnya mendapatkan hak karena ada sebuah utang janji yang harus segera dilunasi. (Kebo mulih pakandangan). Namun, ada penghalang yang berusaha agar pemilik bumi tidak mendapatkan haknya," tutur dia.
“Pemerintah punya kewenangan untuk menetapkan kesamaan hak tanpa menimbulkan kegaduhan,” ujar Ammy memaparkan isi naskah Pangeran Madrais, di Cigugur Kabupaten Kuningan, Selasa 28 November.
Seratan Pangeran Madrais mengandung tatanan kehidupan yang meliputi; sejarah hidup Pangeran Madrais, ajaran perilaku hidup, fenomena alam, kondisi sosial budaya masyarakat, pendidikan, tata pemerintahan, pengobatan, dan petunjuk dalam menyelesaikan permasalahan.
Ammy menyebutkan, tuntunan yang ditulis oleh Pangeran Madarais menyentuh pada hal yang sangat mendasar, yaitu ngarasa (merasakan), rumasa (menyadari), tumarima (menerima) papasten dari Yang Maha Kuasa.
“Bahwa kita terlahir sebagai manusia dan sebagai bangsa yang selayaknya menjalankan cara-cirinya,” kata perempuan berpotongan rambut bob itu.
Dalam naskah kuno itu juga termuat pesan Pangeran Madrais kepada keturunannya, yang menjadi motivasi Ammy untuk menyelesaikan transliterasi ajaran leluhurnya.
“Bagi keturunan Madrais diharuskan dapat membaca seratan ini, supaya mengetahui juga paham apa yang menjadi amanat titis tulis," ujarnya.
Siapa Pangeran Madrais?
PRESENTASI. Keturunan Pangeran Madrais, Ammy Ratna Gumilang Damiasih tengah mempresentasikan hasil transliterasi naskah kuno seratan kakek buyutnya. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
Madrais adalah putra Pangeran Alibassa dari Kepangeranan Gebang dan R. Kastewi keturunan Tumenggung Jayadipura. Ia lahir pada tanggal 9 Mulud 1765 (1832 Masehi) di Susukan Ciawigebang dalam situasi pengejaran Kolonial Belanda. Demi keselamatannya, Pangeran Madrais dititipkan kepada Ki Sastrawardana di Cigugur dengan pesan harus diakui sebagai anaknya untuk mengelabui pihak kolonial Belanda.
Pada1869, Madrais terlibat dalam peristiwa pemberontakan melawan Belanda di Tambun Bekasi. Ia disebut Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon.
Madrais sempat menghilang dan dikabarkan wafat. Padahal, ia melakukan perenungan di Kramat Candana dan mendapat pencerahan yang mengubah strategi perlawananterhadap Belanda. Dari yang semula berupa perlawanan fisik menjadi gerakan budaya yang menggugah tentang kesadaran kebangsaan atau jati diri suatu bangsa dan kemanusiaan.
Namun Pemerintah Kolonial Belanda tetap memandang gerakan itu sebagai sebuah ancaman. Pangeran Madrais kemudian dituduh melakukan pemerasan dan penipuan terhadap masyarakat sehingga diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
Sejak mendapat pencerahan pertama di tahun 1870 dan selama di pengasingan hingga kembali ke Cigugur, Madrais terus menuliskan tuntunan kehidupan sampai dengan akhir hayatnya pada tahun 1939. Tuntutan Titis Tulis itulah yang menjadi warisan berharga Pangeran Madrais untuk keturunan, pengikutnya, dan bangsa ini.
Menyelamatkan Seratan Madrais
Naskah kuno Pangeran Madrais telah berusia ratusan tahun. Tak heran, jika kondisi naskah berupa kertas itu sebagian sudah rusak dimakan zaman.
“Ada yang masih bagus, ada yang dipegang saja sudah hancur,” kata Ammy.
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Mannassa), Munawar Holil menyebutkan, penyelamatan terhadap naskah-naskah Madrais perlu segera dilakukan mengingat naskah kuno itu tergolong peninggalan khusus atau tidak ada di tempat lain. Jika hilang atau punah, Munawar khawatir akan ada bagian penting yang hilang dari sejarah Kuningan.
“Sebenarnya sudah sejak lama, kami ingin membuat konservasi representasi perlindungan secara umum. Karena kalau naskah ini hilang, hilang bagian penting dari sebagian besar sejarah Kuningan. Ini sangat penting untuk diselamatkan, karena begitu hilang secara fisik, hilang juga isinya,” ujar Munawar.
Upaya penyelamatan naskah Madrais mulai dilakukan dengan melakukan proses digitalisasi. Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, Tedi Permadi memimpin langsung proses digitalisasi naskah yang diperkirakan jumlahnya mencapai 50 ribu halaman itu.
Dalam paparannya, Tedi mengatakan, naskah umumnya ditulis dengan aksara Cacarakan dan bahasa Sunda. Kertas yang digunakan berupa folio bergaris dan buku.
“Saat ini kondisinya terancam rusak dengan warna kertas mulai menguning, lembab, berlubang, dan rapuh,” ujar Tedi.
Kondisi naskah yang terancam rusak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan, tempat penyimpanan yang tidak memadai, faktor biologis, dan pengetahuan dalam menangani naskah yang awalnya kurang tepat. Kondisi naskah yang seperti itu, menyulitkan proses digitalisasi.
“Mengingat kondisi naskah yang sebagian besar mulai rapuh, digitalisasi dilakukan dengan cara memotret,” ujar Tedi.
Kegiatan digitalisasi naskah ini, menurut Tedi, mendapat dukungan penuh dari ketua, keluarga, dan anggota masyarakat Adat Karuhun (Akur) Sunda. Harapannya, generasi berikutnya bisa mewarisi nilai-nilai budaya Sunda Wiwitan.
Sumber: https://www.rappler.com/indonesia/berita/190857-upaya-penyelamatan-naskah-kuno-sunda-wiwitan